Jurnal 1 Manajemen Rantai Pasokan Konsep dan Hakikat
Jurnal 2 Supply Chain Management pada Perusahaan Dell Computer
Jurnal 3 Supply Chain Management
Jurnal 4 Supply Chain Analysis Using Simulation Gaussian Process Modelling and Optimisation
Jurnal 5 Potensi Green Supply Chain Management untuk Menurunkan Biaya Logistik Nasional
Jurnal 6 MANAJEMEN RANTAI PASOKAN PRODUK CENGKEH
Rabu, 06 November 2013
Selasa, 05 November 2013
Penerapan Supply Chain Management (SCM) di BMW
Penerapan Keputusan Rantai Pasokan BMW
Dewasa ini peningkatan
pengetahuan konsumen ialah mengenai kepuasan yang di berikan. Perusahaan
merasionalkan proses mereka secara efektif dan perusahaan harus
memberikan tanggapan yang tercermin pada manajemen rantai pasokan yang
tujuannya membangun sebuah rantai pemasok yang memusatkan perhatian untuk
memaksimalkan nilai bagi pelanggan. BMW telah mengumumkan rencana untuk merubah
rantai pasokan siklus melalui penerapan sistem manajemen layanan baru.
Manajemen rantai pasokan merupakan salah satu prioritas atas grup. Gudang ruang
untuk menangani pasokan menjadi lebih kecil dan perusahaan harus menangani
masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pelanggan untuk lebih banyak pilihan
dan fleksibilitas. Jadi kompleksitas yang terkait dengan meningkatnya
permintaan untuk just in time pengiriman harus dipenuhi oleh sistem manajemen
rantai pasokan yang efisien. BMW akan melakukan pemesanan sebelum proses
produksi untuk efisiensi. BMW berusaha melakukan penghematan biaya, tidak ada
biaya persediaan yang berhubungan dengan strategi perusahaan dalam penghematan
biaya.
Membina hubungan dengan
perusahaan lain demi flexibilitas. Ini dilakukan oleh perusahaan BMW Amerika
utara dengan Penske Logistik demi kelancaran produknya. Perusahaan tersebut
membantu BMW menanggani distribusi suku cadang ke dealer BMW di Mexico,
hal ini dilakukan perusahaan agar dapat memperlancar dalam proses pembuatan
mobil BMW. Dengan bekerja sama dengan pihak lain, BMW akan memperpendek
efisiensi waktu dalam proses produknya. Kelancaran dalam rantai pasokan akan
mempengaruhi nilai barang tersebut di mata konsumen. Konsumen akan lebih puas
dengan pelayanan yang baik dari produk tersebut di tunjang dengan produk BMW itu
sendiri yang berkualitas dengan tetap menjaga komitmen terhadap konsumen BMW
yang kita ketahui untuk kalangan menengah ke atas. Respon cepat yang dilakukan
perusahaan terhadap pasokan yang memberikan dampak yang positif terhadap nilai
BMW.
BMW melakukan mass customization
pada produknya yang memiliki performa yang luar biasa. Mass costomaziation
perlu dilakukan BMW untuk memberikan kesan yang berbeda pada produknya. Di
samping itu sebagai produsen mobil mewah BMW harus memberikan nilai tambah yang
ada dalam produknya yang akan memberikan dampak pada pasar yang ada. BMW
menawarkan berbagai macam tipe mobil dan memungkinkan mendapatkan mobil seperti
apa yang mereka inginkan. Hal yang ingin dicapai adalah kepuasan pelanggan
dengan memberikan nilai tambah pada produknya serta meningkatkan citra
perusahaannya dalam dunia bisnis otomotif. Ini terbukti dengan di luncurkan BMW
mini yang ditujukan bagi mereka yang menyukai mobil dengan ukuran mini yang
mengekspresikan diri mereka. Mass costumaziation dengan jumlah terbatas namun
memungkinkan bagi konsumen untuk mendesain model atap secara online. BMW
menerapkan strategi differensiasi dalam strategi rantai pasokan produknya untuk
memikat konsumennya agar memilih produknya. Di harapkan dengan mass
costumization akan menambah pangsa konsumen yang ada.
B. Ekonomi Rantai Pasokan
1. Keputusan buat atau beli.
Rantai pasokan memperoleh
perhatian yang cukup besar dalam strategi perusahaan. Hampir seluruh
perusahaan, proses rantai pasokan memiliki proporsi yang besar dalam hal biaya
maka perlu strategi yang efektif. Rantai pasokan memberikan peluang yang besar
mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan dengan strategi yang cermat pula
dari seorang manajer. Keputusan jual atau beli. Kebanyakan pelaku usaha
manufaktur, restoran, dan perakitan produk membeli komponen subrakitan yang
akan di jadikan produk akhir. BMW menjalin kerja sama dengan para pemasok untuk
memenuhi kebutuhan produksinya untuk kebutuhan akhir. BMW sangat selektif dalam
menjalin kerjasama dengan pemasok untuk menjaga hasil produksi yang memang di
tujukan kepada kalangan atas. Karyawan BMW di tuntut mengevaluasi pemasok
memastikan barangnya sampai dengan yang di jadwalkan.
2. Outsourcing
Outsourcing memindahkan sebagian
dari apa yang biasanya merupakan sumber daya dan aktivitas internal ke penjual
di luar perusahaan yang membuat sedikit berbeda dari keputusan jual atau
beli. Outsourcing merupakan bagian dari trend yang berkembang menuju
pemanfaatan efisiensi. BMW melakukan outsourcing di China, Rusia dan Thailand.
BMW melakukan Outsourcing selain untuk manambah pangsa pasar yang ada saat ini
juga untuk penghematan dana perusahaan di banding di buat di negara asal.
Misalnya di China yang lebih padat karya yang membutuhkan tenaga kerja yang
banyak.
C. Hubungan Pemasok Dengan BMW
BMW menjalin
kerja sama dengan sedikit pemasok. BMW di Amerika menjalin sekitar 100 pemasok
untuk bagian mobil dengan pemilihan yang selektif. Hubungan jangka panjang yang
diinginkan BMW dengan pemasok yang setia. Dengan sedikit pemasok di harapkan
pemasok lebih mengerti kebutuhan BMW yang tetap menampilkan kesan lux di masyarkat
dan kualitas yang menjamin. Penggunaan rantai pasokan yang sedikit memungkinkan
menghasilkan biaya transaksi dan biaya produksi yang rendah. Dengan sedikit
pemasok memiliki komitmen terhadap BMW dengan inovasi–inovasi sehingga
perusahaan lebih agresif dalam mencapai sasaran pasar. Kualitas dan performa
mobil BMW pun dapat terjamin dengan sedikit pemasok, perusahaan dapat
mengontrol lebih aktif seperti apa yang diinginkan
D. BMW Dalam Pengelolaan Rantai
Pasokan
BMW merupakan salah satu
perusahaan yang menerapkan pengelolaan rantai pasokan yang terintegrasi,
sehingga sangat mungkin untuk mendapatkan efisiensi yang substansial dalam
dalam pengelolaan bahan baku yang didapatkan dari pemasok. Siklus bahan baku
bergerak dari pemasok kemudian diterima lalu dilakukan proses produksi lalu
didistribusikan kepada distributor dan sampai pada pelanggan. Masing-masing
dalam siklus terebut berlangsung dalam organisasi terpisah dan mandiri.
Kesuksesan BMW dimulai dari adanya kesepakatan tujuan bersama, kepercayaan
dengan pemasok dan didukung dengan budaya organisasi yang sejalan.
Untuk membentuk sebuah manajemen
pengelolaan rantai pasokan yang terintegrasi ada beberapa hal yang dilakukan
oleh BMW, diantaranya:
1. Data “Pull” yang Akurat.
BMW membagikan data
informasi point-of-sales (POS) kepada pemasok, agar setiap
anggota yang tergabung dalam rantai pasokan dapat melakukan penjadwalan yang
efektif. Kemudian penggunaan Teknologi Informasi dalam pemesanan bahan baku (computer-assisted
ordering –CAO). Dengan begitu penggunaan system POS bisa menyesuaikan
data persediaan yang ada dan sisa pesanan. Kemudian bahan baku yang diperlukan
bisa langsung dikirim oleh pemasok.
2. Pengurangan Ukuran Lot
Pemasok mengirimkan bahan baku
dalam ukuran lot yang tidak terlalu besar kemudian bahan baku yang sudah
diterima bisa langsung diproses. Keuntungan mengirimkan bahan baku dalam ukuran
yang tidak terlalu besar adalah agar persediaan bahan baku yang tersedia di
pabrik minimum sehingga dapat mengurangi biaya pemeliharaan bahan baku.
3. Persediaan yang Dikelola oleh Vendor
Persediaan yang dikelola oleh
vendor (vendor managed inventory – VMI), dalam hal ini BMW
menyerahkan persediaan akan bahan bakunya pada pemasok. Jadi ketika bahan baku
sudah hampir mencapai nol maka pemasok langsung mengirimkan bahan baku. Pemasok
langsung mengirimkan bahan bakunya ke bagian produksi tidak ke gudang. Sehingga
terjadi penghematan rute yang juga berdampak pada penghematan biaya.
4. Standardisasi
BMW melakukan usaha khusus untuk
menaikkan tingkat standardisasi (standardization) terhadap bahan baku
yang dipesannya dari pemasok. Karena selain untuk menjaga kualitas produknya
hal itu juga dapat meningkatkan kualitas produk-produk mobil BMW.
5. Pemesanan Elektronik dan Pemindahan
Dana
Untuk bertukar data, transaksi
pemesanan, pembelian, dokumen penerimaan, serta kegiatan yang lain dalam
berhubungan dengan pemasok BMW menggunakan system pertukaran data elektronik (electronic
data interchange – EDI). Hal tersebut adalah bentuk pemindahan data
yang terstandardisasi untuk komunikasi terkomputerisasi. Karena selain
menghemat kertas juga mempermudah pekerjaan administrasi. Namun kini EDI sudah
ditinggalkan dan digantikan oleh jaringan internet yang lebih cepat dan murah.
Jadi pemesanan dapat dilakukan secara online. Tidak hanya itu kegiatan-kegiatan
yang lain juga dapat dilakukan secara online.
E. Pemilihan Vendor
Vendor barang dan jasa yang
dibeli oleh BMW tentu harus diseleksi terlebih dahulu. Pemilihan vendor (vendor
selection) mempertimbangkan banyak factor, seperti kesesuaian strategis,
kemampuan penjual, pengiriman, dan kinerja berkualitas. Proses pemilihan bisa
menjadi sangat menantang karena perusahaan yang akan dijadikan vendor memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam beberapa bidang dengan perusahaan BMW. Maka
dalam pemilihan vendor tersebut BMW melakukan beberapa kajian berikut:
1. Evaluasi Vendor
Langkah ini BMW melakukan
pencarian terhadap vendor yang potensial bahwa vendor tersebut akan mampu
menjadi pemasok yang baik. Tahap ini memerlukan kriteria-kriteria yang telah
ditetapkan oleh pihak BMW yang tidak bisa kami jelaskan karena keterbatasan sumber.
Pemilihan pemasok yang baik sangatlah penting bagi BMW karena pemasok yang
terpilih ini akan menjadi mitra kerja dalam memasok persediaan bahan baku yang
diperlukan BMW dalam memproduksi produk-produknya.
2. Pengembangan Vendor
Langkah selanjutnya adalah
pengembangan vendor (vendor development). Pada tahap ini BMW telah
memutuskan vendor mana yang akan dijadikan mitra kerja dalam memasok kebutuhan
bahan bakunya. Kemudian BMW berusaha untuk memasukkan vendor ini kedalam
sistemnya. BMW memastikan bahwa vendor tersebut mampu menghargai kebutuhan mutu
BMW, perubahan teknis, jadwal dan pengiriman, system pembayaran, dan kebijakan
pengadaan. BMW juga melakukan pelatihan, bantuan teknis dan produksi,
juga menyiapkan prosedur perpindahan informasi. Hal-hal tersebut dimaksudkan
agar dalam kerjasama terjadi hubungan yang baik dan dapat saling memberikan
keuntungan.
3. Negosiasi
Setelah dua langkah tersebut
diatas dapat dipastikan bahwa BMW telah memilih vendor dan akan bekerja sama
dengan vendor tersebut. Maka untuk menindaklanjuti hal tersebut perlu adanya
negosiasi antara pihak BMW dengan pihak vendor tersebut. Dalam bernegosiasi
dengan vendor, BMW menggunakan pendekatan strategi negosiasi “combine one or
more”. BMW dan vendor setuju untuk mengkaji biaya tertentu, menerima
beberapa bentuk data pasar bagi biaya bahan baku, atau menyetujui bahwa pihak
vendor akan “tetap kompetitif”. Hal ini memerlukan kepercayaan terhadap
kemampuan satu sama lain agar hubungan baik tetap terjaga.
F. Manajemen Logistik
Tujuan manajemen logistik (Logistics
Management) adalah untuk memperoleh efisiensi operasi melalui
pengintegrasian aktivitas pemerolehan, pemindahan dan penyimpanan bahan. Ketika
biaya transportasi dan persediaan cukup besar, baik pada sisi input maupun
output dari proses produksi, maka diperlukan penekanan pada logistik.
Keunggulan bersaing yang potensial ditemukan melalui pengurangan biaya maupun
peningkatan pelayanan pelanggan. Untuk meminimalkan biaya tersebut BMW harus
memutuskan mengenai system distribusinya.
BMW adalah perusahaan yang juga
menerapkan system JIT, untuk sebagian bahan bakunya dikirimkan melalui darat
dan menggunakan alat transportasi berupa Truk. Karena dengan menggunakan Truk
bahan baku dapat dikirmkan tepat waktu, tanpa kerusakan, pekerjaan administrasi
yang baik dan biaya yang cukup rendah. Selain itu truk juga membawa barang
dengan lot yang cukup kecil sehingga dapat meminimalkan persediaan bahan baku.
Selain menggunakan transportasi darat yang berupa truk, BMW juga memanfaatkan
transportasi air untuk menganggkut bahan baku dari pemasok yang dihubungkan
oleh laut. Bahan baku yang dikirimkan melalui laut biasanya berjumlah besar.
System pengiriman melalui laut sangat berarti karena pengiriman tersebut memang
sangat diperlukan untuk kelancaran proses produksi.
G. Benchmark Rantai Pasokan
Untuk
meningkatkan kualitas BMW secara keseluruhan, tidak hanya produk tetapi juga
seluruh kegiatan didalam perusahaan termasuk pengelolaan rantai pasokan, BMW
melakukan benchmarking kepada perusahaan lain yang lebih baik dalam proses
pengelolaan rantai pasokan. Perusahaan yang telah melakukan penurunan biaya,
lead time, keterlambatan pengiriman, dan kekosongan persediaan, yang kesemuanya
dilakukan sambil melakukan peningkatan mutu. Dengan benchmarking tersebut
diharapkan bahwa BMW akan menemukan manajemen rantai pasokan yang efektif yang
menyediakan keunggulan bersaing dengan membantu menanggapi tuntutan pasar
global.
Tgl : 05 November 2013
Jam akses : 22.19 PM
Penerapan Supply Chain Management (SCM) di PT Frisian Flag Indonesia
Gambaran Umum Perusahaan
Sekitar
8-9 tahun yang lalu PT Frisian Flag Indonesia (FFI) masih menggunakan sistem
yang semi otomatis dimana kegiatan pengadaan barang, pengiriman dan transaksi
masih belum bisa dilakukan secara terintegrasi dan real time.
Pada
awalnya FFI menggunakan Prism sebagai sistem back office yang menopang proses
penjadwalan produksi dan purchasing order, tanpa menggunakan modul Material
Resource Planning (MRP). Hal ini yang menyebabkan user harus mengecek langsung
ke sistem untuk monitoring pengadaan barang, baru diputuskan kapan pengadaan
bahan baku dilakukan. Untuk urusan logistik dan transportasi digunakan submodul
terpisah, dimana jika ingin memproses laporan semua data harus dipindah ke
aplikasi keuangan terlebih dahulu.
Dapat
disimpulkan bahwa sistem ini jarang melakukan pengolahan proses dan lebih
banyak melakukan pencatatan saja. Sehingga banyak persoalan muncul karena
sistem yang kurang terintegrasi ini. Rantai produksi dan SCM, mulai dari
pengadaan hingga penjualan produk terhambat karena sharing informasi yang tidak
berjalan lancar. Apalagi untuk pelaporan yang cepat, sangat sulit dilakukan
mengingat data harus didownload dan diolah di aplikasi lain.
Untuk
dapat mengimplementasikan produksi dan SCM dengan baik, maka perusahaan susu
yang bermarkas pusat di Belanda ini memutuskan untuk memperbarui infrastruktur
IT nya dengan mengaplikasikan electronic-Supply Chain Management (e-SCM) yang
berjalan paralel dengan ERP untuk tahap awal. Selain itu juga dikembangkan
sistem secondary sales berbasis web untuk 150 distributor di Indonesia.
Di
tahun 2005 FFI mulai mengimplementasikan sistem ERP baru yaitu SAP untuk
menggantikan Prism. Dalam pelaksanaannya, FFI menunjuk konsultan dari Singapura
untuk membantu implementasinya. Dimulai dengan melengkapi data master hingga
data pendukung seperti Lead Time, Safety Stock, Order Point, Delivery Window
Time, dan lain-lain. Juga digunakan aplikasi middleware (EAI) untuk logistik
dimana proses pengiriman produk jadi hingga sampai ke tangan pelanggan akan
dihandle oleh bagian ini. Selain itu juga digunakan sistem bar code, jadi
setiap bagian produksi menghasilkan satu barang jadi maka otomatis akan muncul
label bar code nya sehingga mengurangi proses entry data. FFI membangun
jaringan wireless di seluruh pabriknya, sehingga data yang diterima pemindai
bar code dapat segera masuk ke dalam database.
Untuk
hubungan dengan mitra bisnis, FFI menerapkan sistem Collaborative Planning,
Forecasting and Replenishment (CPFR). Saat ini FFI dalam tahap akhir penerapan
sistem traceability dengan menggunakan pemindai bar code dan teknologi Radio
Frequency Identification (RFID) yang mencakup tahapan mulai penerimaan bahan
baku, produksi, hingga menghasilkan barang jadi.
Jaringan
Perusahaan-Perusahaan Yang Ada Pada Rantai Pasok
Jaringan
perusahaan yang terlibat di FFI cukup banyak. Dimulai dari perusahaan penyedia
hewan sebagai bahan baku susu, perusahaan pengemasan, pengadaan barang dan lain
sebagainya. Lalu ada juga bagian yang mengurus masalah order tracking, pemesanan
oleh para distributor, pengiriman barang dan penjualan.
Perangkat Lunak dan Modul Yang
Digunakan Pada Penerapan SCM
Modul
pelayanan pelanggan yang baik: market business intelligence, eksekusi logistik
(inventori/manajemen pergudangan dan manajemen distribusi), perencanaan
produksi berbasis pada tingkat konsumsi (consumption-based planning), serta
Supplier Relationship Management (SRM) dan e-procurement.
Semua
modul di atas harus terintegrasi, karena modul-modul itu menjadi pendukung
keberhasilan SCM Semua elemen tersebut harus terintegrasi. Ituakan menjadi
kunci keberhasilan SCM. APO juga sangat mendukung proses penjadwalan, jadi
pihak sales bisa memberikan info yang jelas kepada pelanggan tentang pengiriman
barang, lama pembuatan barang, dan semua jadwal yang berhubungan dengan
pelanggan.
Tgl : 05 November 2013
Jam akses : 22.00 PM
Penerapan Supply Chain Management (SCM) di CARREFOUR
Guna memberi jaminan ketersediaan berbagai produk bagi ribuan
pelanggannya setiap hari, serta menciptakan efisiensi bagi dirinya dan para
pemasok, Carrefour membenahi sistem rantai pasokannya. Bagaimana sistem SCM
baru ini bekerja?
Seorang ibu yang sedang berbelanja di sebuah supermarket tampak
bersungut-sungut, karena beberapa produk yang dicari tidak tersedia. “Maaf, Bu,
barangnya sedang kosong. Stoknya habis,” seorang SPG buru-buru menjelaskan.
Barang tak tersedia memang kerap terjadi di gerai modern. Kalau
pun ada, biasanya harga barang itu melonjak mengikuti tingginya permintaan. Apa
penyebabnya? Salah satunya karena rantai pasokan (supply chain) ada yang
terganggu. Bisa saja, barang yang dipasok telat dikirim. Atau, bisa jadi pemasok
tidak mampu memenuhi service level yang disepakati dengan peritel. Misalnya,
semula disepakati supplier bisa memasok 100 unit barang ke peritel setiap
minggunya, tapi kenyataannya hanya sanggup memasok 50 unit. “Di Carrefour,
barang tidak ada atau langka sudah tidak pernah terjadi lagi. Sebab, jaminan
pasokannya selalu ada,” kata Irawan D. Kadarman, Direktur Corporate Affairs PT
Carrefour Indonesia, mengklaim.
Menurut Irawan, sistem rantai pasokan memang memegang peran
penting dalam industri ritel. Terlebih bagi peritel besar sekelas Carrefour,
yang memiliki 75 gerai dengan lokasi tersebar di berbagai tempat (30 gerai
Carrefour di bawah PT Carrefour Indonesia dan 45 gerai Carrefour Express di
bawah PT Alfa Retailindo Tbk.) dan bekerja sama dengan lebih dari 4 ribu
pemasok. “Tanpa adanya rantai pasokan yang efisien, mengelola magnitude sebesar
itu, sudah tidak mungkin. Jadi dengan adanya rantai pasokan yang efisien, maka
jaminan pasokan barang selalu ada dan harga untuk konsumen akan selalu
terkelola dengan baik,” Irawan menerangkan.
Seperti apa sistem supply chain management (SCM) yang
dikembangkan Carrefour? Menurut Bayu A. Soedjarwo, Manajer Logistik Senior
Carrefour, SCM sebenarnya sudah dikembangkan di perusahaannya sejak lama ketika
Carrefour baru memiliki beberapa gerai. Ketika itu, SCM yang dikembangkan masih
sangat sederhana. Fungsinya hanya untuk membantu proses penerimaan barang di
gerai. Selain itu, fokusnya masih pada barang pangan siap saji. “Kami mulai
serius mengembangkan SCM ini sejak Juli 2007. Kami investasi di bidang
teknologi informasi (TI) untuk mengembangkan model rantai pasokan yang berbeda,
sehingga memudahkan pemasok dan gerai,” tutur Bayu.
Untuk tujuan itu, dibeli sebuah aplikasi ternama khusus untuk
rantai pasokan dan sekaligus mampu menjalankan warehouse management system,
yakni InfoLog. Dengan InfoLog, semua proses dalam rantai pasokan bisa
diintegrasikan. Selain itu, sistem ini memudahkan kolaborasi Carrefour dengan
para pemasok – walaupun diakui Irawan, belum semua pemasok terintegrasi. “Saat
ini fokus kami pada efisiensi yang bisa diberikan, sehingga bisa dinikmati oleh
pelanggan berupa keberadaan produk berkualitas dengan harga yang kompetitif,”
kata Irawan.
Rantai pasokan yang dibangun Carrefour ini berdasarkan
perhitungan tingkat optimasi dari pabrik atau pemasok sampai ke rak (shelf)
gerai. Hal ini membutuhkan analisis dari setiap jenis produk dan supply chain
pemasok. Metode yang dipakai Carrefour untuk SCM ini dengan menerapkan proses
just-in-time (JIT) di pusat distribusi (Distribution Center/DC), yang disebut
Cross Dock. Tujuannya untuk mengefisienkan proses sehingga tidak diperlukan
adanya stok di pusat distribusi. Jadi ketika pemasok mengirim barang hari ini
ke DC Carrefour di Pondok Ungu dan Lebak Bulus, maka keesokan harinya barang
itu sudah terkirim ke gerai-gerai. Singkatnya, metode Cross Dock memungkinkan
prosesnya lebih transparan dalam distribusi produk karena tidak ada produk yang
terdegradasi (tertinggal) di gudang. “Pada dasarnya fungsi DC kan untuk
meredistribusi produk, bukan untuk menyimpan produk. Jadi melalui Cross Dock
kami mengembalikan DC ini ke fungsi sebenarnya,” Bayu
menjelaskan. “Kami yang pertama kali menerapkan JIT di pusat
distribusi,” Irawan mengklaim.
Keunikan cara tersebut – dibanding bila pemasok mengirimkan
langsung – bahwa produk-produk tadi sudah dikonsolidasi ketika dikirim ke
gerai. Misalnya, bila biasanya sebuah gerai menerima 30 truk yang berbeda, kini
cukup menerima 5 truk saja. Pasalnya, para pemasok bisa mengirimkan ke DC
Carrefour. Selanjutnya, barang dari berbagai pemasok itu akan dipilah-pilah
sesuai dengan permintaan gerai. Sebagai contoh, kini sebuah truk yang datang ke
gerai Carrefour Ratu Plaza, hanya perlu membawa produk-produk yang dibutuhkan
khusus oleh gerai itu.
Irawan juga menjelaskan, rantai pasokan yang dikembangkan
Carrefour ini bukan hanya berdasarkan proses pergerakan fisik produk, melainkan
memperhatikan pula aliran informasi. Selain itu juga mempertimbangkan
penyederhanaan dokumentasi untuk penagihan dari pemasok dan pembayaran oleh
Carrefour. Maklum, keberhasilan rantai pasokan di peritel sangat ditentukan
oleh aliran informasi dari gerai sampai ke pemasok, dan sebaliknya, disertai
sinkronisasi data kedua pihak. “Carrefour membangun rantai pasokan dengan
mengandalkan dukungan pemasok terhadap efisiensi yang diciptakan dalam rantai
pasokan ini,” ujarnya memberi alasan.
Dijelaskan Bayu, untuk kebutuhan dalam proses aliran order,
pihaknya mengembangkan Central Order Pool (COP), di mana proses pengorderan
dilakukan secara otomatis dan terpusat berdasarkan posisi stok di gerai dan
parameter-parameter lain. Untuk melakukan pemesanan barang dengan seluruh
pemasok, Carrefour menggunakan sistem Electronic Data Interchange (EDI). Jika
order sudah diterima, pemasok bisa menerimanya melalui Web. Ada pula pemasok
yang sudah mengintegrasikannya dengan sistem ERP mereka. Selanjutnya, mereka
menyampaikan (submit) order itu ke pabriknya, lalu barang pun dikirim ke DC
Carrefour.
Nah, mengingat kunci sukses atau tulang punggung proses order
tersentralisasi adalah akurasi data stok di gerai dan pusat distribusi
Carrefour, pihak Carrefour menerapkan proses cycle count (alias penghitungan
stok menggunakan sampling setiap hari). Dengan begitu, akurasi data di pusat
distribusi diklaim hampir selalu 100%, walaupun mengelola puluhan ribu jenis
produk.
Menurut Frederic Fontaine, Penasihat Teknis Rantai Pasokan
Carrefour, rantai pasokan yang tersentralisasi itu memberi beberapa keuntungan,
baik bagi Carrefour maupun pemasok. Bagi Carrefour, keuntungan utamanya
perbaikan ketersediaan produk di gerai. Menurutnya, hal itu sebenarnya juga
merupakan keuntungan bagi pemasok, karena menghilangkan lost of sales yang
diakibatkan produk tidak tersedia. Keuntungan lain bagi pemasok adalah proses
yang lebih sederhana, karena hanya memproses satu order. Pemasok juga hanya
perlu mengirim produk ke satu titik, sehingga lebih menghemat biaya dibanding
mengirim produk ke seluruh gerai. Pemasok pun akan merasakan penghematan biaya
pengiriman, ketersediaan produk yang lebih terjamin, dan terjaganya kinerja
pemasok di Carrefour dalam hal service level.
Toh, diakui Fontaine, tingkat partisipasi mereka untuk bergabung
dengan sistem DC masih kurang. Padahal, service level para pemasok itu masih di
bawah ekspektasi Carrefour. Saat ini, rata-rata pemasok yang mengantar langsung
ke gerai Carrefour memiliki service level 50%. Misalnya, kalau pihak Carrefour
memesan 100 unit, mereka hanya mampu memasok 50 unit. Sementara pemasok yang
sudah menggunakan jasa logistik, service level-nya sudah 70%-75%. Pihak
Carrefour sendiri memberi toleransi untuk service level ini minimum 85%.
“Keberadaan DC ini untuk membantu mereka. Dengan begitu, mereka hanya fokus
untuk memproduksi barang. Karenanya, kami mengajak pemasok untuk bergabung ke pusat
distribusi kami,” Fontaine mengimbau.
Fontaine menyebutkan, orientasi Carrefour ke depan bukan pada
pengembangan sistem TI. Pasalnya, sistem TI yang ada diklaim sudah bisa
memenuhi kebutuhan. Sasaran utamanya sekarang meningkatkan para pemasok yang
masih memiliki service level rendah. Alasannya, kondisi itu menyebabkan lost of
sales, baik bagi pemasok maupun Carrefour sendiri. “Target kami meningkatkan
service level sehingga bisa mengirim barang secara on time, dan tahu demand
kami,” ucap Fontaine.
Salah satu pemasok yang sudah memanfaatkan sistem rantai pasokan
yang dikembangkan Carrefour adalah CV Mulyatama – pemasok private label untuk
tempat CD, tempat tisu di mobil, dan sebagainya. Menurut Syritama Anas, pemilik
Mulyatama, pihaknya bergabung menjadi pemasok Carrefour sejak Februari 2008.
“Rantai pasokan baru yang dijalankan Carrefour sangat bagus. Keunggulannya,
sistem ini sangat efisien dari segi waktu dan tenaga kerja,” katanya mengakui.
Menurut Syritama, dibanding sistem terdahulu, pada sistem SCM sekarang
ini penggunaan tenaga kerja lebih efisien. Dulu, pengiriman dilakukan langsung
ke gerai sehingga memerlukan lebih banyak tenaga kerja. Dalam satu hari satu
mobil maksimum hanya bisa menuju tiga gerai. Sekarang pengiriman cukup
dilakukan satu kali dan sudah mencakup seluruh gerai Carrefour.
Unilever Indonesia, salah satu supplier besar yang menjadi
pemasok Carrefour sejak 1998 (ketika peritel asal Prancis ini baru membuka
gerainya di Cempaka Putih), juga merupakan pemasok pertama yang ikut serta dalam
pengiriman terpusat (centralized delivery) Carrefour sejak pertama kali
Carrefour menerapkan sistem rantai pasokan baru.
Menurut Manghirim T. Tobing, Manajer Customer Service
Perdagangan Modern PT Unilever Indonesia Tbk., dengan sistem pengiriman terpusat
ini, Unilever sebagai pemasok tidak perlu lagi mengirim barang langsung ke
gerai-gerai Carrefour, tapi cukup ke gudang Carrefour. Carrefour kemudian akan
mengirim barang Unilever ke gerai bersama-sama dengan barang dari pemasok lain.
Sistem pengiriman terpusat ini, lanjut Manghirim, merupakan
kolaborasi yang baik antara Unilever dengan Carrefour. “Apabila dilihat dari
rantai pasokan secara keseluruhan, kolaborasi ini menghasilkan efisiensi yang
bisa dinikmati bersama oleh Unilever dan Carrefour,” ujar Manghirim. “Dengan
kapabilitas yang dimiliki Carrefour, sistem rantai pasokan yang baru ini bisa
dikembangkan untuk menjangkau daerah yang lebih luas seperti Jawa Barat,” ia
menambahkan.
Selain para pemasok, keunggulan sistem rantai pasokan Carrefour
juga diakui konsultan TI Hadi Barko. Menurutnya, seluruh gerai Carrefour sudah
tersambung ke DC Pondok Ungu dan menggunakan satu sistem ERP (single platform).
Menurut Hadi, kalau software-nya berbeda-beda, akan butuh waktu untuk transfer
dan kolaborasi datanya tidak real time. Mekanisme kerjanya, sistem ERP yang
digunakan Carrefour akan memicu ke pemasok melalui fasilitas e-business ataupun
e-mail. “Sebaiknya top ten suppliers atau para pemasok yang mewakili 80% nilai
transaksi, memiliki koneksi langsung ke Carrefour,” kata Hadi menyarankan.
Pakar supply management yang sekarang bermukim di Singapura ini
menyarankan, penerapan SCM ini bisa lebih dioptimalkan. Syaratnya, pihak
Carrefour harus mengintegrasikan sistem SCM-nya itu lewat jaringan komunikasi
online dengan gerai-gerai yang mempunyai nilai 80% dari seluruh nilai transaksi
Carrefour. Selain itu, ia juga mengingatkan perlunya diperhatikan performance
management tool di masing-masing gerai – yang bisa dianalisis oleh manajer
gerai untuk kepentingan forecast atau estimasi. “Tim SCM dan manajer gerai
harus bisa membaca dan menginterpretasi hasil performance management tool untuk
keputusan berikutnya,” katanya.
Lalu, sistem penerimaan barang (goods receipt) di gudang
masing-masing gerai disarankan bisa menggunakan sistem barcoding – untuk Top 20
gerai sebaiknya malah dengan teknologi radio frequency identification (RFID) –
sehingga pergerakan barang/stok langsung termonitor (terdeteksi) . “Tingkat
akurasi di masing-masing gerai minimum juga harus 95%,” ujarnya menganjurkan.
Tgl : 05 November 2013
Jam akses : 22.00 PM
War Room
Bayangkan jika terjadi salah satu dari skenario di bawah ini terjadi:
• Satu dari tiga pabrik pembuat tepung yang memasok 25% dari total pasar tepung di tanah air mengalami kebakaran hebat sehingga tidak dapat difungsikan lagi; atau
• Sebuah kilang minyak raksasa di salah satu daerah di Indonesia mendadak meledak sehingga tidak dapat menghasilkan minyak mentah yang dibutuhkan berbagai industri; atau
• Sejumlah besar depot logistik (dolog) tempat menyimpan beras untuk keperluan pangan nasional dirusak massa; atau
• Beberapa skenario lain yang menyebabkan terganggunya operasi sebuah perusahaan hulu sehingga tidak dapat menghasilkan pasokan produk yang dibutuhkan oleh sejumlah perusahaan lain atau pelanggan langsung.
Apa yang dapat dan harus dilakukan oleh manajemen eksekutif atau jajaran direksi di masing-masing perusahaan untuk dapat mengatasi permasalahan di atas sehingga tidak mengganggu kondisi makro kebutuhan pasar akan tepung, minyak, beras, atau produk pokok lainnya?
Di negara-negara maju, dalam menghadapi permasalahan krisis seperti ini yang dilakukan perusahaan adalah melakukan serangkaian aktivitas singkat dan kilat yang dilakukan oleh segenap manajemen inti perusahaan dengan menggunakan sebuah ruangan dengan fasilitas khusus yang diistilahkan sebagai “war room”. Fasilitas apa yang tersedia di tempat ini? War Room atau Ruang Perang pada dasarnya merupakan sebuah tempat dimana para manajemen inti dapat melakukan analisa secara kilat mengenai kondisi serius yang mendadak dihadapi perusahaan, agar dalam hitungan jam (bukan hari, minggu, atau bulan), manajemen perusahaan dapat mengambil keputusan secara strategis ataupun operasional terhadap langkah-langkah konkret yang harus dilakukan untuk mengurangi besarnya “damage” yang terjadi. Secara fisik, ruangan ini dibagi menjadi dua bagian utama:
Sessions Room, merupakan sebuah ruang besar yang terbagi menjadi beberapa kubikal berukuran kecil, sedang, maupun besar tempat diskusi kelompok dilakukan. Di setiap ruangan disediakan berbagai peralatan presentasi multimedia canggih yang dikontrol oleh fasilitas komputer yang mudah dipergunakan (seperti touch screen, digital board, desk control panel, dan lain sebagainya). Melalui kanal akses ini, manajemen dapat mengakses data dan informasi apapun yang dibutuhkan secara real-time, dalam bentuk berbagai media seperti teks, grafik, gambar, audio, video, dan lain sebagainya.
Infrastructure Room, merupakan ruang yang sebenarnya berada “di belakang layar” tidak terlihat, yang pada dasarnya merupakan “otak pengetahuan” dari perusahaan terkait, karena di sinilah letaknya berbagai data internal maupun eksternal yang siap diolah menjadi informasi dan pengetahuan oleh berbagai jenis aplikasi-aplikasi penting (seperti Executive Information System, Decision Support System, Artificial Intelligence System, Management Information System), dengan menggunakan perangkat keras yang sangat handal dan canggih. Obyektif dari ruang penunjang ini adalah agar semua data dan informasi yang dibutuhkan oleh mereka yang sedang berada di Sessions Room dapat diciptakan dan didistribusikan sehingga “siap saji” .
Sessions Room
Apa yang terjadi di tempat ini? Begitu mendengar krisis yang dihadapi, yang pertama kali dilakukan oleh Presiden Direktur atau CEO (Chief Executive Officer) adalah memesan War Room kepada pengelola untuk dipergunakan secara intens dalam waktu dekat. Pada saat yang sama pimpinan perusahaan juga meminta War Room untuk mengundang manajemen inti perusahaan dan menyediakan berbagai data dan informasi operasional yang dianggap perlu oleh yang bersangkutan. Sejalan dengan persiapan kilat yang dilakukan oleh manajer War Room, seluruh jajaran pimpinan inti diundang untuk segera menuju ke War Room secepatnya. Bagi yang berada di luar kota atau luar negeri diminta untuk “pulang” segera, jika tidak memungkinkan (terutama yang di luar negeri), diminta untuk siap berada di depan notebooknya yang terkoneksi dengan internet ke War Room dengan fasilitas multimedia yang memadai. Kurang lebih satu jam kemudian, mulailah yang berkepentingan memasuki War Room. Ketika mereka “check in”, para manajertersebut disediakan satu paket informasi yang singkat padat dan jelas mengenai berbagai data dan informasi terkait dengan krisis yang dihadapi. Sambil menunggu pimpinan perusahaan hadir, masing-masing dari mereka mempelajari secara seksama paket informasi tersebut. Tigapuluh menit kemudian pimpinan perusahaan datang dan semua berkumpul di ruangan terbesar dalam Sessions Room dengan format duduk setengah melingkar menghadap ke pimpinan perusahaan. Layar multimedia pun diturunkan, dan pimpinan perusahaan mengadakan presentasi mengenai krisis yang terjadi di perusahaan.
Fokus dari presentasi tersebut diarahkan pada hal-hal berikut:
• Deskripsi secara ringkas, padat, dan jelas mengenai krisis yang baru saja terjadi;
• Penyebab utama dari krisis tersebut dan permasalahan-permasalahan berantai yang timbul karena adanya peristiwa tersebut;
• Dampak dari masing-masing permasalahan tersebut ke berbagai pihak intenal dan eksternal perusahaan, mengingat bahwa sebagai perusahaan hulu, produk mereka sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan lain untuk berproduksi;
• Usulan-usulan singkat mengenai sejumlah skenario penyelesaian krisis yang diajukan oleh pimpinan perusahaan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya;
• Tingkatan prioritas terhadap masing-masing permasalahan yang ada; dan
• Hal-hal terkait lainnya yang dianggap penting untuk diketahui seluruh manajer inti sehubungan dengan krisis yang terjadi.
Berdasarkan pembekalan tersebut, dibentuklah kelompok-kelompok kecil terdiri dari 3-7 orang untuk membicarakan mengenai kondisi tersebut di atas dengan lebih seksama. Masing-masing kelompok berhak untuk menempati sebuah ruangan canggih yang diperlengkapi dengan kompouter dan fasilitas teknologi komputer lainnya dimana secara cepat mereka dapat mencari dan mengolah data mentah maupun informasi yang mereka inginkan. Berbagai skenario di atas maupun gagasan-gagasan baru disimulasikan melalui komputer, terutama analisa cost-benefit dan untung-ruginya diambil suatu kebijakan terhadap hal-hal stratejik, misalnya yang berkaitan dengan profitabilitas perusahaan, pertumbuhan perusahaan, kerugian yang dihadapi, potensi keluhan pelanggan, analisa kompetitor, kajian supply-demand pasar, dan lain sebagainya. Tentu saja informasi internal maupun eksternal harus tersedia secara cepat agar proses kajian kelompok dapat dilakukan secara efektif. Melalui internet, intranet, dan ekstranet yang dimiliki,tidak mustahil pula sebuah perusahaan dapat mengakses data maupun informasi dari para pelanggan, pemasok, dan mitra bisnis-nya, untuk melihat cara-cara mempertahankan relasi baik dengan mereka walaupun krisis besar dihadapi perusahaan. Setelah masing-masing kelompok memperhitungkan dan mengkaji berbagai skenario secara seksama, akhirnya setiap kelompok memutuskan satu skenario terbaik yang akan dijadikan sebagai rekomendasi kelompok. Secara kuantitatif maupun kualitatif data perhitungan yang dijadikan landasan berpijak dihasilkannya keputusan tersebut dipersiapkan untuk dipresentasikan di pertemuan berikut.
Seusai masing-masing kelompok menyelesaikan tugasnya selama kurang lebih 2-4 jam, pimpinan perusahaan kembali mengumpulkan mereka di ruang utama, dan memberikan kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk memberikan rekomendasi terbaiknya berdasarkan kajian yang telah dilakukan. Diskusi secara interaktif dan intens antara kelompok yang memiliki rekomendasi andalannya masing-masing dilakukan di ruang tersebut. Jika ada hal yang meragukan, di ruang yang sama langsung dilakukan pengecekan terhadap data atau informasi yang dibutuhkan, apakah melalui komputer, internet, satelit, tele conference, maupun alat-alat canggih teknologi informasi lainnya. Setelah berdebat dan berargumentasi, akhirnya dipilihlah sebuah skenario terbaik, yang dapat dilakukan melalui kemufakatan bulat (unanimous) atau pemungutan suara (voting). Bersamaan dengan diputuskannya skenario terbaik tersebut, disusun pula di ruangan yang sama kebijakan dan landasan berpijak operasional (Standard Operating Procedure) yangharus dilakukan oleh semua pihak yang terkait di perusahaan. Rapat ditutup oleh pimpinan perusahaan dengan berpesan agar seluruh keputusan tersebut dilaksanakan dalam waktu yang secepat-cepatnya oleh seluruh jajaran karyawan perusahaan.
Infrastructure Room
Keseluruhan aktivitas di Sessions Room tersebut hanya dapat terjadi seandainya perusahaan memiliki sebuah infrastruktur teknologi yang canggih di belakang layar. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal utama yang patut diperhatikan dalam pemilihan teknologi yang tersedia adalah permasalahan kecepatan, bukan biaya (at any cost). Ada tiga fasilitas utama yang harus tersedia:
• Sistem Database yang baik dimana paling tidak sebuah datawarehouse yang berisi seluruh data transaksi dan operasional sehari-hari perusahaan. Akan lebih baik jika perusahaan dapat pula mengakses sistem database mitra bisnisnya dan pelanggannya melalui ekstranet maupun internet.
• Beragam Aplikasi yang membentuk suatu sistem informasi terintegrasi dan terpadu, terutama yang berkaitan dengan Supply Chain Management, Demand Chain Management, Customer Relationship Management, Enterprise Resource Planning, Financial and Accounting System, Marketing and Sales Forecasting, dan lain sebagainya. Gabungan dari aplikasi inilah yang akan menjadi tulang punggung manajemen dalam melakukan simulasi dan analisa “what-if”.
• Infrastruktur Teknologi Informasi yang selain cepat dan berpita lebar (big bandwidth), terhubungkan pula dengan berbagai jaringan terkait dengan aktivitas perusahaan. Kemampuan infrastruktur untuk melakukan pengolahan data secara cepat dan pendistribusian berbagai format data multimedia merupakan syarat mutlak spesifikasi yang harus dimiliki perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi seandainya pada sesi diskusi dirasa perlu untuk mengadakan komunikasi atau kolaborasi jarak jauh dengan para pakar baik melalui tele conference maupun teknologi canggih lainnya.
Bagi perusahaan yang telah memiliki sebuah sistem informasi yang terpadu, membuat fasilitas war room tidaklah sulit, karena yang diperlukan hanyalah membeli beberapa peralatan dengan spesifikasi baru yang akan diperlukan pada saat krisis terjadi. Beberapa vendor banyak pula yang menawarkan jasa outsourcing maupun insourcing terhadap fasilitas canggih tersebut, mengingat selain harganya cukup mahal, penggunaannya pun jarang sekali (on demand only). Namun apabila dibandingkan dengan kerugian yang harus ditanggung perusahaan seandainya tidak dapat menangani masa krisis secara cepat dan tepat, apalah artinya sebuah investasi untuk mendirikan war room…..
• Satu dari tiga pabrik pembuat tepung yang memasok 25% dari total pasar tepung di tanah air mengalami kebakaran hebat sehingga tidak dapat difungsikan lagi; atau
• Sebuah kilang minyak raksasa di salah satu daerah di Indonesia mendadak meledak sehingga tidak dapat menghasilkan minyak mentah yang dibutuhkan berbagai industri; atau
• Sejumlah besar depot logistik (dolog) tempat menyimpan beras untuk keperluan pangan nasional dirusak massa; atau
• Beberapa skenario lain yang menyebabkan terganggunya operasi sebuah perusahaan hulu sehingga tidak dapat menghasilkan pasokan produk yang dibutuhkan oleh sejumlah perusahaan lain atau pelanggan langsung.
Apa yang dapat dan harus dilakukan oleh manajemen eksekutif atau jajaran direksi di masing-masing perusahaan untuk dapat mengatasi permasalahan di atas sehingga tidak mengganggu kondisi makro kebutuhan pasar akan tepung, minyak, beras, atau produk pokok lainnya?
Di negara-negara maju, dalam menghadapi permasalahan krisis seperti ini yang dilakukan perusahaan adalah melakukan serangkaian aktivitas singkat dan kilat yang dilakukan oleh segenap manajemen inti perusahaan dengan menggunakan sebuah ruangan dengan fasilitas khusus yang diistilahkan sebagai “war room”. Fasilitas apa yang tersedia di tempat ini? War Room atau Ruang Perang pada dasarnya merupakan sebuah tempat dimana para manajemen inti dapat melakukan analisa secara kilat mengenai kondisi serius yang mendadak dihadapi perusahaan, agar dalam hitungan jam (bukan hari, minggu, atau bulan), manajemen perusahaan dapat mengambil keputusan secara strategis ataupun operasional terhadap langkah-langkah konkret yang harus dilakukan untuk mengurangi besarnya “damage” yang terjadi. Secara fisik, ruangan ini dibagi menjadi dua bagian utama:
Sessions Room, merupakan sebuah ruang besar yang terbagi menjadi beberapa kubikal berukuran kecil, sedang, maupun besar tempat diskusi kelompok dilakukan. Di setiap ruangan disediakan berbagai peralatan presentasi multimedia canggih yang dikontrol oleh fasilitas komputer yang mudah dipergunakan (seperti touch screen, digital board, desk control panel, dan lain sebagainya). Melalui kanal akses ini, manajemen dapat mengakses data dan informasi apapun yang dibutuhkan secara real-time, dalam bentuk berbagai media seperti teks, grafik, gambar, audio, video, dan lain sebagainya.
Infrastructure Room, merupakan ruang yang sebenarnya berada “di belakang layar” tidak terlihat, yang pada dasarnya merupakan “otak pengetahuan” dari perusahaan terkait, karena di sinilah letaknya berbagai data internal maupun eksternal yang siap diolah menjadi informasi dan pengetahuan oleh berbagai jenis aplikasi-aplikasi penting (seperti Executive Information System, Decision Support System, Artificial Intelligence System, Management Information System), dengan menggunakan perangkat keras yang sangat handal dan canggih. Obyektif dari ruang penunjang ini adalah agar semua data dan informasi yang dibutuhkan oleh mereka yang sedang berada di Sessions Room dapat diciptakan dan didistribusikan sehingga “siap saji” .
Sessions Room
Apa yang terjadi di tempat ini? Begitu mendengar krisis yang dihadapi, yang pertama kali dilakukan oleh Presiden Direktur atau CEO (Chief Executive Officer) adalah memesan War Room kepada pengelola untuk dipergunakan secara intens dalam waktu dekat. Pada saat yang sama pimpinan perusahaan juga meminta War Room untuk mengundang manajemen inti perusahaan dan menyediakan berbagai data dan informasi operasional yang dianggap perlu oleh yang bersangkutan. Sejalan dengan persiapan kilat yang dilakukan oleh manajer War Room, seluruh jajaran pimpinan inti diundang untuk segera menuju ke War Room secepatnya. Bagi yang berada di luar kota atau luar negeri diminta untuk “pulang” segera, jika tidak memungkinkan (terutama yang di luar negeri), diminta untuk siap berada di depan notebooknya yang terkoneksi dengan internet ke War Room dengan fasilitas multimedia yang memadai. Kurang lebih satu jam kemudian, mulailah yang berkepentingan memasuki War Room. Ketika mereka “check in”, para manajertersebut disediakan satu paket informasi yang singkat padat dan jelas mengenai berbagai data dan informasi terkait dengan krisis yang dihadapi. Sambil menunggu pimpinan perusahaan hadir, masing-masing dari mereka mempelajari secara seksama paket informasi tersebut. Tigapuluh menit kemudian pimpinan perusahaan datang dan semua berkumpul di ruangan terbesar dalam Sessions Room dengan format duduk setengah melingkar menghadap ke pimpinan perusahaan. Layar multimedia pun diturunkan, dan pimpinan perusahaan mengadakan presentasi mengenai krisis yang terjadi di perusahaan.
Fokus dari presentasi tersebut diarahkan pada hal-hal berikut:
• Deskripsi secara ringkas, padat, dan jelas mengenai krisis yang baru saja terjadi;
• Penyebab utama dari krisis tersebut dan permasalahan-permasalahan berantai yang timbul karena adanya peristiwa tersebut;
• Dampak dari masing-masing permasalahan tersebut ke berbagai pihak intenal dan eksternal perusahaan, mengingat bahwa sebagai perusahaan hulu, produk mereka sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan lain untuk berproduksi;
• Usulan-usulan singkat mengenai sejumlah skenario penyelesaian krisis yang diajukan oleh pimpinan perusahaan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya;
• Tingkatan prioritas terhadap masing-masing permasalahan yang ada; dan
• Hal-hal terkait lainnya yang dianggap penting untuk diketahui seluruh manajer inti sehubungan dengan krisis yang terjadi.
Berdasarkan pembekalan tersebut, dibentuklah kelompok-kelompok kecil terdiri dari 3-7 orang untuk membicarakan mengenai kondisi tersebut di atas dengan lebih seksama. Masing-masing kelompok berhak untuk menempati sebuah ruangan canggih yang diperlengkapi dengan kompouter dan fasilitas teknologi komputer lainnya dimana secara cepat mereka dapat mencari dan mengolah data mentah maupun informasi yang mereka inginkan. Berbagai skenario di atas maupun gagasan-gagasan baru disimulasikan melalui komputer, terutama analisa cost-benefit dan untung-ruginya diambil suatu kebijakan terhadap hal-hal stratejik, misalnya yang berkaitan dengan profitabilitas perusahaan, pertumbuhan perusahaan, kerugian yang dihadapi, potensi keluhan pelanggan, analisa kompetitor, kajian supply-demand pasar, dan lain sebagainya. Tentu saja informasi internal maupun eksternal harus tersedia secara cepat agar proses kajian kelompok dapat dilakukan secara efektif. Melalui internet, intranet, dan ekstranet yang dimiliki,tidak mustahil pula sebuah perusahaan dapat mengakses data maupun informasi dari para pelanggan, pemasok, dan mitra bisnis-nya, untuk melihat cara-cara mempertahankan relasi baik dengan mereka walaupun krisis besar dihadapi perusahaan. Setelah masing-masing kelompok memperhitungkan dan mengkaji berbagai skenario secara seksama, akhirnya setiap kelompok memutuskan satu skenario terbaik yang akan dijadikan sebagai rekomendasi kelompok. Secara kuantitatif maupun kualitatif data perhitungan yang dijadikan landasan berpijak dihasilkannya keputusan tersebut dipersiapkan untuk dipresentasikan di pertemuan berikut.
Seusai masing-masing kelompok menyelesaikan tugasnya selama kurang lebih 2-4 jam, pimpinan perusahaan kembali mengumpulkan mereka di ruang utama, dan memberikan kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk memberikan rekomendasi terbaiknya berdasarkan kajian yang telah dilakukan. Diskusi secara interaktif dan intens antara kelompok yang memiliki rekomendasi andalannya masing-masing dilakukan di ruang tersebut. Jika ada hal yang meragukan, di ruang yang sama langsung dilakukan pengecekan terhadap data atau informasi yang dibutuhkan, apakah melalui komputer, internet, satelit, tele conference, maupun alat-alat canggih teknologi informasi lainnya. Setelah berdebat dan berargumentasi, akhirnya dipilihlah sebuah skenario terbaik, yang dapat dilakukan melalui kemufakatan bulat (unanimous) atau pemungutan suara (voting). Bersamaan dengan diputuskannya skenario terbaik tersebut, disusun pula di ruangan yang sama kebijakan dan landasan berpijak operasional (Standard Operating Procedure) yangharus dilakukan oleh semua pihak yang terkait di perusahaan. Rapat ditutup oleh pimpinan perusahaan dengan berpesan agar seluruh keputusan tersebut dilaksanakan dalam waktu yang secepat-cepatnya oleh seluruh jajaran karyawan perusahaan.
Infrastructure Room
Keseluruhan aktivitas di Sessions Room tersebut hanya dapat terjadi seandainya perusahaan memiliki sebuah infrastruktur teknologi yang canggih di belakang layar. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal utama yang patut diperhatikan dalam pemilihan teknologi yang tersedia adalah permasalahan kecepatan, bukan biaya (at any cost). Ada tiga fasilitas utama yang harus tersedia:
• Sistem Database yang baik dimana paling tidak sebuah datawarehouse yang berisi seluruh data transaksi dan operasional sehari-hari perusahaan. Akan lebih baik jika perusahaan dapat pula mengakses sistem database mitra bisnisnya dan pelanggannya melalui ekstranet maupun internet.
• Beragam Aplikasi yang membentuk suatu sistem informasi terintegrasi dan terpadu, terutama yang berkaitan dengan Supply Chain Management, Demand Chain Management, Customer Relationship Management, Enterprise Resource Planning, Financial and Accounting System, Marketing and Sales Forecasting, dan lain sebagainya. Gabungan dari aplikasi inilah yang akan menjadi tulang punggung manajemen dalam melakukan simulasi dan analisa “what-if”.
• Infrastruktur Teknologi Informasi yang selain cepat dan berpita lebar (big bandwidth), terhubungkan pula dengan berbagai jaringan terkait dengan aktivitas perusahaan. Kemampuan infrastruktur untuk melakukan pengolahan data secara cepat dan pendistribusian berbagai format data multimedia merupakan syarat mutlak spesifikasi yang harus dimiliki perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi seandainya pada sesi diskusi dirasa perlu untuk mengadakan komunikasi atau kolaborasi jarak jauh dengan para pakar baik melalui tele conference maupun teknologi canggih lainnya.
Bagi perusahaan yang telah memiliki sebuah sistem informasi yang terpadu, membuat fasilitas war room tidaklah sulit, karena yang diperlukan hanyalah membeli beberapa peralatan dengan spesifikasi baru yang akan diperlukan pada saat krisis terjadi. Beberapa vendor banyak pula yang menawarkan jasa outsourcing maupun insourcing terhadap fasilitas canggih tersebut, mengingat selain harganya cukup mahal, penggunaannya pun jarang sekali (on demand only). Namun apabila dibandingkan dengan kerugian yang harus ditanggung perusahaan seandainya tidak dapat menangani masa krisis secara cepat dan tepat, apalah artinya sebuah investasi untuk mendirikan war room…..
Tgl : 05 November 2013
Jam akses : 22.00 PM
Physical Company dan Knowledge Company
Abad ke-20 dapat dikatakan sebagai masa kejayaan perusahaan-perusahaan manufaktur dan industri-industri pencipta produk fisik lainnya, terbukti dengan telah diciptakannya begitu banyak produk-produk inovasi unggulan dengan kualitas tinggi. Sebut saja negara-negara semacam Jerman, Amerika, Jepang, China, Taiwan, dan lain-lain yang telah menciptakan beragam produk yang dipasarkan ke seluruh dunia. Kualitas manajemen dan proses penciptaan produk-produk tersebut pun secara signifikan telah meningkat. Implementasi konsep manajemen semacam Total Quality Management, Business Process Reengineering, Just-In-Time Inventory Management, dan lain sebagainya merupakan pemicu utama berhasil ditingkatkannya kualitas penciptaan produk jadi melalui proses pengubahan bahan mentah menjadi bahan baku dan akhirnya menjadi produk yang siap dikonsumsikan pelanggan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur yang berhasil masuk di jajaran korporasi Fortune 500merupakan kumpulan dari mereka yang telah memiliki “best practices” bagi produknya masing-masing. Terasa sangat sulit kalau tidak mustahil bagi negara berkembang untuk mencoba menjadi pesaing-pesaing mereka dan merebut pangsa pasar untuk industri semacam pesawat terbang, kereta api, telepon genggam, televisi, mobil, dan lain sebagainya. Lalu bisnis apa yang tersisa di abad ke-21 bagi negara-negara yang masih berkembang?
Salah seorang praktisi manajemen dari Price Waterhouse Cooperas menamakan perusahaan-perusahaan yang jaya di abad ke-20 tersebut sebagai Physco (singkatan dari Physical Company) karena keberhasilan mereka terletak bagaimana mengelola sumber daya-sumber daya fisik melalui proses-proses procurement, inventory, distribution, dan aktivitas terkait lainnya (Gambar 47). Kinerja mereka yang begitu baik merupakan bukti dari kepiawaian mereka di bidang pengelolaan sumber daya fisik tersebut. Namun demikian, dengan berkembangnya teknologi informasi yang telah sanggup “merubah” banyak sekali sumber daya fisik menjadi entiti digital, bentuk persaingan menjadi berubah.
Logikanya cukup jelas, karena pada dasarnya, entiti digital sangat mudah dan murah untuk diproduksi, sehingga keberadaannya menjadi tidak terbatas. Sementara itu, entiti digital dapat pula merepresentasikan proses-proses bisnis sehari-hari seperti ATM yang menggantikan bermacam-macam proses atau aktivitas perbankan, aplikasi e-commerce yang menggantikan pasar tradisional, Web-TV yang menggantikan proses kolaborasi dan kompetisi, dan lain sebagainya. Bahkan entiti digital dapat pula merepresentasikan pengetahuan yang ada di dalam otak manusia, terbukti dengan dikembangkannya aplikasi-aplikasi artificial intelligence dan decision support system. Berdasarkan fenomena ini, perusahaan-perusahaan yang berjaya di abad ke-20, harus mulai memikirkan kembali strateginya, karena:
· Semua sumber daya yang dapat didigitalisasi akan cenderung menjadi “public goods”, dalam arti kata memiliki harga yang hampir mendekati nol (semakin besar diproduksi, biaya variabel per item akan semakin kecil); dan
· Jika beranggapan bahwa seluruh perusahaan telah mahir dalam menjalankan proses produksi (the flow of products) maka satu-satunya kompetisi akan dilakukan terhadap bagaimana menciptakan dan mendistribusikan entiti digital (the flow of digital entity).
· Perusahaan yang mahir menggunakan asset digital untuk memperoleh keunggulan kompetitif ini dinamakan sebagai Knowco (singkatan dari knowledge company, karena hasil akhir dari pengolahan data digital adalah menjadi pengetahuan strategis).
Kenyataan memperlihatkan, bahwa perusahaan lama yang masih dapat bertahan bahkan semakin berjaya di era internet ini adalah yang dapat mengawinkan antara konsep Physco dan Knowco. Alasannya adalah sebagai berikut:
· Aspek Physco lebih memfokuskan diri pada pemenuhan pemasokan bahan-bahan mentah untuk diproduksi menjadi produk jadi yang dibutuhkan pelanggan. Perusahaan harus memiliki kemampuan dalam menerapkan Supply Chain Management untuk dapat bersaing secara efektif. Dengan kata lain, kerja sama antara perusahaan dengan mitra bisnis merupakan kunci sukses utama yang harus dapat dikelola secara efektif, efisien, dan terkontrol dengan baik.
· Aspek Knowco lebih menitikberatkan pada usaha untuk menjalin hubungan antara perusahaan dengan pelanggan. Sehubungan dengan hal ini, kepuasaan pelanggan (customer satisfaction) saja tidak cukup. Perusahaan harus mampu membuat suatu strategi dan mekanisme sedemikian rupa sehingga pelanggan menjadi loyal terhadap perusahaan (customer loyalty). Bahkan di negara-negara maju tujuan akhirnya nanti adalah “terikat”-nya pelanggan dengan perusahaan sehingga mereka tidak mau untuk “melirik” ke tempat lain lagi kecuali membeli produk dari perusahaan terkait. Perusahaan dikatakan berhasil menjadi sebuah Knowco apabila mahir menerapkan konsep Demand ChainManagement.
Persamaan antara Supply Chain Management maupun Demand Chain Management adalah ketergantungan perusahaan akan informasi yang akurat, detail, menyeluruh, dan holistik yang berhubungan dengan seluruh stakeholders perusahaan (yang berkepentingan). Untuk dapat menciptakan, mengolah, dan mendistribusikan data, informasi, dan pengetahuan ke tempat-tempat yang tepat secara efektif dan efisien dibutuhkan dua fasilitas besar, yaitu: aplikasi dan teknologi. Aplikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah perangkat lunak (software) bertugas untuk menciptakan proses interaksi antara berbagai entiti bisnis melalui dunia maya (internet), sementara teknologi (atau yang lebih dikenal dengan istilah perangkat keras/hardware) merupakan tulang-punggung atau infrastruktur penyaluran data maupun informasi yang dibutuhkan tersebut. Hubungan kedua fasilitas ini seperti layaknya minuman anggur di dalam botol, dimana minuman anggur sebagai perangkat lunak-nya dan botol sebagaiperangkat keras-nya.
Dengan menyatukan keempat kekuatan di atas, yaitu masing-masing konsep Supply Chain Management, Demand Chain Management, Application Enablers, dan Technology Vehicles, maka nischaya perusahaan yang bersangkutan akan dapat memenangkan persaingan global di industrinya masing-masing.
Source :http://www.blogster.com/artikelekoindrajit/physical-company-dan-knowledge-company-240908003200
Tgl : 05 November 2013
Jam akses : 09.57 PM
Langganan:
Postingan (Atom)